Daftar Blog Saya

Label

Jumat, 22 Maret 2013

pembagian lafadz berdasarkan kejelasan maknanya



       I.            PENDAHULUAN
            Syari’at Islam merupakan pada dasarnya adalah berasal dari Al-Qur’an dan Al-Hadist yang kemudian diperjelas dengan adanya perkembangan zaman yang  begitu banyak terjadi suatu maalah baru yamg timbul dalam segala lapangan hidup,yang selanjutnya menuntut hukum dari peristiwa tersebut .sehingga muncul berbagai ijtihat setelah terdapat kekurangan dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Para fuqaha telah membuat beberapa qaedah untuk pegangan dalam kita dalam menafsirkan nash yang harus kita tathbiqkan dan harus kita jaga dalam memahamkan hokum dari pada nash qaedah-qaedah itu, ada yang berdasarkan pada lughat dan ada yang di petik dari mempelajari dasar-dasar , syara’mentasyri’kan hukum.yang pertama dinamai qaedah-qaedah loghawiyah kemudian yang kedua dinamai qaedah-qaedah tasyri’ iyah .ulama ushul mengistimbatkan qaedah yang pertama dari menelitikan  dengan seksama segala rupa lafadz ibarat dan uslub bahasa’arab dan petunjuk petunjuk masing-masingnya kepada maknanya yang terkenal dalam loghat,kmudian hal-hal yang dikaji di sekitar dalalah(petunjuk lafadz )ialah; dalalah lafadz dan ibarat,dari segi terang tidaknya,kepada beberapa makna yang dipersekutukannya,dan keumumannya dan kekususannya (dadalah yang melengkapi segala afradnya dan kekhususanya atas sebagian afrad saja)[1]. Kemudian dalam makalah ini akan di bahas sedikit tentang lafadz berdasarkan pada kejelasan maknanya.
RUMUSAN MASALAH
            Bagaimanakah pembagian lafadz berdasarkan kejelasan maknanya?

    II.            PEMBAHASAN
Lafadz yang terang artinya terbagi kepada empat tingkat yang kekuatan dari segi kejelasan artinya berbeda yakni; Nash,Dzahir, Mufassar, dan Muhkam. Ulama ulama ushul hanafiyah membagi lafadz mengingat kedhahirn petunjuknya kepada pengertian (makna) kepada empat  bagian:
1)      Nash yaitu ;”lafadz yang tegas petunjuknya kepada makna yang di maksudkan.tetapi menerima takhshish ,kalau dia ‘aam dan menerima takwil kalau dia khas”[2]
Nash ialah :”lafadh yang menunjukan kepada sesuatu pengertian yang tidak menerima makna yang lain lagi”
Nash menurut al Sarkhasi adalah :  lafadz yang mempunyai derajat kejelasan diatas dzahir dengan qorinah yang menyertai lafadz dari mutakallim, ditunjukkan dengan sighot sendiri atas makna yang dimaksud dalam konteks, mengandung kemungkinan takwil, menerima naskh dan takhsis.[3]
Dari definisi ini menjadi jelaslah bagi kita bahwa nash mempunyai dalalah yang jelas sebagaimana dzahir. Pemahaman maknanya tidak bergantung pada petunjuk dari luar sighotnya. Demikian juga makna nash tidak memerlukan penelitian akan tetapi bisa langsung dipahami dengan sighotnya. Nash lebih jelas daripada dzahir. Sebab menjadi lebih jelasnya nash dari dzahir adalah disebabkan qorinah yang terdapat dalam kalam.
Q.S Al-baqarah ayat 275

ذ لك با نهم قلواانما البيع مثل الر بوا     
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba

 Qorinah ini menunjukkan bahwasannya yang dimaksud dengan konteks ayat
واحل الله البيع وحرم الر بوا
adalah menafikan persamaan antara jual beli dan riba dan menegaskan perbedaan diantara keduanya sebagai bantahan terhadap orang kafir yang mempersamakan kedua jenis transaksi tersebut. Ayat ini yaitu             واحل الله البيع وحرم الر بواsecara dzahir penghalalan jual beli dan pengharaman riba dan nash terhadap perbedaan diantara keduanya
فصيام ثلاثة ايام
Contoh; “maka puasa tiga hari”(QS. Al-maidah: 89)

Hukum nash sama dengan hukum dzahir yaitu wajib melaksanakannya sesuai dengan makna yang langsung dipahami dan konteks kalam dengan mengandung kemungkinan takwil  takhsis dan naskh. Namun apabila kemungkinan-kemungkinan ini tidak bersandar pada dalil maka hukum nash adalah qot’i atau yakin. Meskipun berkedudukan sama dalam hukum yaitu kewajiban mengamalkannya berdasarkan pemahaman makna secara langsung akan tetapi nash lebih terang maknanya daripada dzahir. Nash itulah yang dituju menurut ungkapan asal, sedangkan dzahir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang mengungkapkannya. Oleh karena itu makna yang dituju secara langsung itu lebih mudah untuk dipahami daripada makna yang lainnya yang tidak langsung. Juga kemungkinan nash mengandung takwil, takhsis dan naskh itu lebih kecil daripada dzahir. Atas dasar itu apabila terdapat pertentangan makna antara nash dan dzahir dalam penunjukannya, maka didahulukan yang nash[4].

2)      Dhahir yaitu;
“lafadz yang nyata pertunjukannya kepada pengertian yang dimaksudkan ,tapi mungkin menerima makna yang lain”
Dzahir secara bahasa adalah lafadz yang bisa dipahami maknanya secara langsung tanpa ada kesamaran. Atau dzahir adalah lafadz yang jelas maknanya tanpa memerlukan qorinah untuk menafsirkannya, atau menjelaskan maksudnya, maknanya jelas dengan hanya mendengarkan bunyi lafadnya. Sedangkan secara istilah dzahir adalah lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud dengan sighot sendiri tanpa ada tambahan dari luar, akan tetapi makna itu bukanlah makna yang dimaksud dalam konteks kalimat dan mengandung kemungkinan adanya takwil[5]
Contoh:
والسماء بنينا ها بايد
 dhahir:”dan kami telah membina langit dengan tangan-tangan”(QS.Adz-Dzariyat:47)
dhahir perkataan tangan ,ialah anggauta yang terkenal .dan dia bisa menerima makna yang lain , yaitu kekuatan . maka kalimat aidin atau tangan , dinamai lafadz muawwal


Karena itu mungkinlah berkumpul dhahir dan nash pada suatu lafadz. Dan mungkin pula nash itu tidak disertai yang lain ,akan tetapi yang dhahir ,tidak bisa bersendiri sekali-kali.
·         ‘ulama-ulama syafi’iyah membagi lfadh kepada ;dhahir dan nash.
o   Dhahir menrut  mereka yaitu;”lafadh yang mempunyai petuntuk yang tidak member yakinan ,tetapi kuat ,yang terjadi asal makna atau uruf”
Kalau di palingkan dengan makna yang dhahir lalu di kehendaki makna yang bukan dhahir (yang marjuh) karena suatu qarinah maka di namakan muawwal.
o   Nash ialah :”lafadh yang menunjukan kepada sesuatu pengertian yang tidak menerima makna yang lain lagi”.
Muhkam lebih umum dari pada dhahir dan nash dan tidak berlawanan dengan takwil dan ulama-ulama syafi’iyah membagi takwil kepada ; takwil yang dekat ,takwil yang jauh dan takwil yang tidak di terima.
Takwil menurut Al-Ghazali ialah ;”member kepada lafadz ,pengertian yang lain dari makna yang dhahir ,yang di bantu oleh suatu dalil yang menyebabkan kita berpendapat bahwa makna itulah yang di kehendaki oleh lafadz[6]

3)      Mufassar pada urutan ketiga menunjukkan ia lebih jelas dari dua lafadz sebelumnya. Ada beberapa definisi tentang mufassar, diantaranya :
Mufassar yaitu;”lafadz yang nyata petunjuknya kepada maknanya yang di maksud dari rangkaian lafadz tersebut , serta mungkin di mansukkan”[7]
Al Sarkhasi memberi definisi :  Nama bagi sesuatu yang terbuka yang dikenal dengannya secara terbuka dalam bentuk yang tidak ada kemungkinan mengandung makna lain.

Dari definisi yang dipaparkan menjadi jelaslah bahwa hakikat lafadz mufassar itu adalah penunjukannya terhadap makna jelas sekali. Penunjukannya itu hanya dari lafadz sendiri tanpa memerlukan qorinah dari luar, karena terang, jelas dan terinci maknanya maka tidak mungkin ditakwilkan.
الزانية والزاني فاجلدواكل وحدمنهما مائةجدة
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”(QS. Annur; 2) , dan tentang had qodzaf:
والذين يرمون المحصنت ثم لم ياتوا باربعة شهداء فاجلدوهم ثمنين جلدة
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera

Masing-masing lafadz yaitu : ((مئة dan ثمانين)) mufassar karena ia adalah bilangan tertentu. Lafadz tersebut tidak mengandung pengurangan dan penambahan. Dan firman Allah SWT,

4)      Muhkam yaitu; “lafadz yang nyata petunjuknya kepada pengertian yang Karenanya, disusun lafadz itu dan tidak mungkin menerima sesuatu yang lain , takwil dan tidak takhshis dan terkadang-kadang tidak menerima nasakh.hal ini ditunjuki oleh suatu qarinah”.[8]

Muhkam adalah lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud,yang memang didatangkan untuk makna itu. Lafadz ini jelas pengertiannya, tidak menerima lagi adanya takwil dan takhsis[9]. Muhkam lebih kuat dari pada Mufassar tapi tidak lebih terang. Dikatakan demikian karena Muhkam tidak menerima nasakh sementara  mufassar menerima. Ketidak menerimaan Muhkam terhadap naskh tidak mempengaruhi kejelasan lafadznya. Sebab ketidak menerimaan naskh bukan bersumber dari zat nash akan tetapi dari sebab yang lain. Oleh karena itu muhkam lebih kuat dari lafadz-lafadz yang lain.
Bahkan terkadang disertai dengan ungkapan yang menunjukkan bahwa lafadz itu tidak menerima adanya nasakh. Seperti sabda Nabi SAW
” Jihad itu terus menerus sampai hari kiamat.”
Dan seperti firman Allah,
ولا تقبلوا لهم شهدة ابدا
“ dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka buat selama-lamanya
(QS. AN-Nurr :4)


 III.            KESIMPULAN
ü  Para fuqaha telah membuat beberapa qaedah untuk pegangan dalam kita dalam menafsirkan nash yang harus kita tathbiqkan dan harus kita jaga dalam memahamkan hokum dari pada nash qaedah-qaedah itu, ada yang berdasarkan pada lughat dan ada yang di petik dari mempelajari dasar-dasar , syara’mentasyri’kan hukum. kmudian hal-hal yang dikaji di sekitar dalalah(petunjuk lafadz )ialah; dalalah lafadz dan ibarat,dari segi terang tidaknya,kepada beberapa makna yang dipersekutukannya,dan keumumannya dan kekususannya (dadalah yang melengkapi segala afradnya dan kekhususanya atas sebagian afrad saja.
ü  Ulama ulama ushul hanafiyah membagi lafadz mengingat kedhahirn petunjuknya kepada pengertian (makna) kepada empat  bagian:
Nash ialah :”lafadh yang menunjukan kepada sesuatu pengertian yang tidak menerima makna yang lain lagi.
Dhahir yaitu; lafadz yang nyata pertunjukannya kepada pengertian yang dimaksudkan ,tapi mungkin menerima makna yang lain.
Mufassar yaitu;lafadz yang nyata petunjuknya kepada maknanya yang di maksud dari rangkaian lafadz tersebut , serta mungkin di mansukkan.
Muhkam yaitu; lafadz yang nyata petunjuknya kepada pengertian yang Karenanya, disusun lafadz itu dan tidak mungkin menerima sesuatu yang lain , takwil dan tidak takhshis dan terkadang-kadang tidak menerima nasakh.hal ini ditunjuki oleh suatu qarinah.


 IV.            PENUTUP
Demikian makalah dari kami,masih banyak kekuranagan dalam maupun dalam penyusunan materi, yang demikian merupakan keterbatasan dari kami ,oleh karena itu di mohonkan dengan kritik dan saran demi perbaiakan makalah selanjutnya, semoga makalah ini dapat  bermanfaat.. semoga Allah selalu memberikan perlindungan bagi kita semua .Aamiin..




DAFTAR PUSTAKA

Ash-shiddieqy. T.M hasbi Dr.Prof, Pengantar  Hukum Islam,Bulan bintang,(Jakarta 1958)
Adian Husaini, Hegemoni Kristen Barat dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi, Gema Insani, (Jakarta 2006)
http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=570:konsep-makna-menurut-ulama-ushul-&catid=1:fikih-dan-syariah&Itemid=101




[1] Ash-shiddieqy. T.M hasbi ,pengantar hukum islam, (Jakarta 1958) hlm 32
[2] Ibid hlm 49
[3] http://www.inpasonline.com/index

[4] Ibid., http://www.inpasonline.com/index
[5] Adian Husaini, Hegemoni Kristen Barat dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi, Gema Insani, (Jakarta 2006)
[6]Op cit., Ash-shiddieqy. T.M hasbi ,pengantar hukum islam, (Jakarta 1958) hlm 50
[7] Ibid., hal 49
[8] Op cit., Adian Husaini, Hegemoni Kristen Barat dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi, Gema Insani, (Jakarta 2006)
[9] Op cit., http://www.inpasonline.com/index

Tidak ada komentar:

Posting Komentar